1.
BAHASA
DAN MASYARAKAT
1.1 Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage,
langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa prancis itu, dalam
bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah,
yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda,
meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa
perancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang
bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal
diantara sesamanya. langage ini bersifat abstrak, barangkali istilah langage
ini dapat dipadankan dengan kata bahasa , seperti terdapat dalam kalimat
“manusia mempunyai bahasa, binatang tidak.” Jadi, penggunaan istilah bahasa
dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah
satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai alat
komunikasi manusia.
Langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan
oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan
berinteraksi sesamanya.
Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang-lambang bunyi tertentu
yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.
Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka istilah
yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan
pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh
para anggota masyarakat didalam berinteraksi atau berkomunikasi selamanya.
Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, yang dapat
diamati secara empiris. Yang menjadi objek studi linguistic adalah langue,
sebagai suatu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole.
Mengapa…? Karena parole inilah yang dapat di observasi secara empiris. Langue
itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak. Padahal
setiap penelitian harus dilakukan melalui data empiris itu.
Dari pembahasan mengenai istilah
langage, langue, dan parole diatas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa
dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga
istilah yang berasal dari bahasa perancis itu dapat dipadankan dengan satu kata
bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang berbeda.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu
sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada
suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu,
meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat
tertentu.
Bahwa bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan
setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua
bahasa dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari
kedua dialek itu bisa saling mengerti, tetapi secara politis bisa disebut
sebagai dua bahasa yang berbeda.
Contohnya, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia.
1.2 Verbal Repertoire
Ferdinand
de Saussure membedakan antara langue, dan parole, antara bahasa sebagai sebuah
sistem yang sifatnya abstrak, dan bahasa dalam penggunaannya secara nyata
didalam masyarakat yang bisa kita sebut tuturan (inggris: speech).
Chomsky,tokoh
tata bahasa generative transformasi, menyebutkan adanya kompentens (inggris:competence)
disamping performans (inggris:performance) yang dimaksud dengan kompetens adalah
kemampuan, yakni pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya.
Sedangkan performans adalah perbuatan bahasa atau pemakai bahasa itu sendiri
dalam keadaan yang sebenarnya didalam masyarakat.
Halliday, tokoh linguistik sistemik, yang banyak
menaruh perhatian pada segi kemasyarakatan bahasa, tidak secara eksplisit membedakan
bahasa sebagai sistem dan bahasa (tuturan) sebagai keterampilan, dia hannya
menyebut adanya kemampuan komunikatif (inggris: communicative competence).
Kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk
menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma
penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya.
Seorang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah menguasai bahasa
ibunya dan bahasa Indonesia. selain itu, mungkin menguasai satu bahasa daerah
lain atau lebih, dan juga bahasa asing, bahasa inggris, atau bahasa lainnya,
apabila mereka telah memasuki pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Semua
bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini
biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoire dari orang
itu.
Verbal repertoire ada 2 macam.
1. Mengacu
pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan
untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya.
2. Mengacu
pada keseluruhan alat-alat verba yang ada didalam suatu masyarakat, beserta
dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai
sistem interaksi verba diantara para penuturnya didalam masyarakat disebut
sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro, sedangkan, kajian
mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik
didalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik
makro(appel, 1976:22).
Kedua jenis sosiolinguistik ini, mikro dan makro,
mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan, karena keduanya
saling bergantungan. Maksudnya, verba repertoire setiap penutur ditentukan oleh
masyarakat dimana dia berada,; sedangkan verbal repertoire suatu masyarakat
tutur terjadi dari himpunan verba repertoire semua penutur, didalam masyarakat
itu.
1.3
Masyarakat Tutur
Suatu
kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif
sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok
orang itu atau masyarakat itu adalah
sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanyaa sekelompok
orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang
mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Satu hal lagi
yang patut dicatat, untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya
perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang
sama. Fishman (1976:28) menyebut “ masyarakat tutur adalah suatu masyarakat
yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta
norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”.
Masyarakat
tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman
atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin
juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi
simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang di sebut negara, bangsa,
atau daerah. Jadi, mungkin saja suatau wadah negara, bangsa atau daerah
membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini
tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili
masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan.
Didalam dari
sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam
masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakainya lebih
luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2)
masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan
aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang
sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Masyarakat modren mempunyai
kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung
menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat
tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan
beberapa bahasa yang berlainaan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai
faktor sosial dan faktor kultural.
1.4
Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Sosiolinguistik
adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya di dalam masyarakat.
Hubungan yang bagaimanakah yang terdapat di antara bahasa dengan masyarakat
itu? Jawabannya adalah adanya hubungan anatara bentuk-bentuk bahasa tertentu,
yang disebut variasi, ragam atau dialek
dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Adanya
tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari
segi kebangsawanan, kalau ada: dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang
ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk
memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf
pendidikannya lebih baik, namun taraf perekonomiannya kurang baik. Sebaliknya,
yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang
baik.
Variasi
bahasa yang digunakan oleh orang-orang
yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim
juga disebut sosiolik ( Nababan 1984 ). Perbedaan variasi bahasa dapat juga
terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial
yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara;
atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan,
maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang
berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa
yang lebih tinggi, yaitu krama; dan
yang tingkat sosialnya labih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih
rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa
yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal bahasa Jawa dengan istilah
undak usuk.
Dalam
masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial
berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada, atau walaupun ada
sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat
dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibu kota Jakarta ada
dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa
saja yang masuk golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah adalah
relatif, agak sukar ditentukan, tetapi kalau dilihat golongan sosial
ekonominya, maka anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan. Maka masalah kita
sekarang adakah hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dengan
penggunaan bahasa. Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara kelas sosial ekonomi dan
penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi
di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan orang.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan
Leonie Agustina. 2010. Sisiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar