Kamis, 13 Desember 2012

BAHASA DAN MASYARAKAT

1.      BAHASA DAN MASYARAKAT

1.1  Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa perancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya. langage ini bersifat abstrak, barangkali istilah langage ini dapat dipadankan dengan kata bahasa , seperti terdapat dalam kalimat “manusia mempunyai bahasa, binatang tidak.” Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai alat komunikasi manusia.
Langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya.
Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang-lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.
Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat didalam berinteraksi atau berkomunikasi selamanya. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, yang dapat diamati secara empiris. Yang menjadi objek studi linguistic adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Mengapa…? Karena parole inilah yang dapat di observasi secara empiris. Langue itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak. Padahal setiap penelitian harus dilakukan melalui data empiris itu.
 Dari pembahasan mengenai istilah langage, langue, dan parole diatas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang berasal dari bahasa perancis itu dapat dipadankan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang berbeda.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu.
Bahwa bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua bahasa dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti, tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda.
Contohnya, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia.

1.2 Verbal Repertoire
            Ferdinand de Saussure membedakan antara langue, dan parole, antara bahasa sebagai sebuah sistem yang sifatnya abstrak, dan bahasa dalam penggunaannya secara nyata didalam masyarakat yang bisa kita sebut tuturan (inggris: speech).
                        Chomsky,tokoh tata bahasa generative transformasi, menyebutkan adanya kompentens (inggris:competence) disamping performans (inggris:performance) yang dimaksud dengan kompetens adalah kemampuan, yakni pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performans adalah perbuatan bahasa atau pemakai bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya didalam masyarakat.
Halliday, tokoh linguistik sistemik, yang banyak menaruh perhatian pada segi kemasyarakatan bahasa, tidak secara eksplisit membedakan bahasa sebagai sistem dan bahasa (tuturan) sebagai keterampilan, dia hannya menyebut adanya kemampuan komunikatif (inggris: communicative competence). Kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya.
Seorang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah menguasai bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. selain itu, mungkin menguasai satu bahasa daerah lain atau lebih, dan juga bahasa asing, bahasa inggris, atau bahasa lainnya, apabila mereka telah memasuki pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoire dari orang itu.
Verbal repertoire ada 2 macam.
1.      Mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya.

2.      Mengacu pada keseluruhan alat-alat verba yang ada didalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verba diantara para penuturnya didalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro, sedangkan, kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik didalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro(appel, 1976:22).
Kedua jenis sosiolinguistik ini, mikro dan makro, mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling bergantungan. Maksudnya, verba repertoire setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana dia berada,; sedangkan verbal repertoire suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verba repertoire semua penutur, didalam masyarakat itu.

1.3   Masyarakat Tutur
Suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu  adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanyaa sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Satu hal lagi yang patut dicatat, untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama. Fishman (1976:28) menyebut “ masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang di sebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatau wadah negara, bangsa atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan.
Didalam dari sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakainya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Masyarakat modren mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainaan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kultural.
1.4  Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya di dalam masyarakat. Hubungan yang bagaimanakah yang terdapat di antara bahasa dengan masyarakat itu? Jawabannya adalah adanya hubungan anatara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut  variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada: dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi  ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikannya lebih baik, namun taraf perekonomiannya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik.
Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang  yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut sosiolik ( Nababan 1984 ). Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara; atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa  yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya labih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat  sosial ini dikenal bahasa Jawa dengan istilah undak usuk.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada, atau walaupun ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibu kota Jakarta ada dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa saja yang masuk golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah adalah relatif, agak sukar ditentukan, tetapi kalau dilihat golongan sosial ekonominya, maka anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan. Maka masalah kita sekarang adakah hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dengan penggunaan bahasa. Di Indonesia penelitian mengenai  hubungan antara kelas sosial ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi  di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan orang.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sisiolinguistik Perkenalan Awal.  Jakarta:    Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar