Kamis, 13 Desember 2012

PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK TUTUR

PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK TUTUR

Dalam setiap proses komunikasi manusia komunikasi ini terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur dan  tindak tutur dalam satu situasi tutur.
1.1  Peristiwa Tutur
Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua puhak yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat,dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang  dan pembeli  dipasar pada waktu tertantu dengan menggunakan sebgai alat komunikasinya adalah peristiwa tutur.
Dikatakan oleh Deli Hymes ( 1971), seorang pakar sosiolingustik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah ( diangkat dari Wadhaugh 1990):
1.      S = setting and scene. Berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan.
2.      P = participants. Pihak-pihak yang terlibat dalam penuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan yang disapa, atau pengirim dan penerima pesan.
3.      E = ends; purpose and goal. Merujuk pada maksud dan tujuan penuturan. Peristiwa yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelsaikan suatu kasus perkara.
4.      A = act sequencesmengacu pada bentuk tujuan ujaran dan isi ujaran.
5.      K = key; tone or spirit of actmengacu pada nada, cara, dan semangat dimana atau pesan yang disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat dan sebagainya.
6.      I = instrumentalitiesmengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon.
7.      N = norms of intraction and interpretasion. Mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
8.      G = genres. Mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
1.2  Tindak Tutur
Kalaudalamperistiwatuturlebihdilihatpadatujuanperistiwanya, tetapidalamtindaktuturlebihdilihatpadamaknaatautindakandalamtuturannya.Tindakantuturdanperistiwatuturmerupakanduagejala yang terdapatpadasatu proses, yakni proses komunikasi.

Istilahdanteorimengenaitindaktuturmula-mula di perkenalkan J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, padatahu 1956, teori yang berasaldarimaterikuliahitukemudiandibukukanolehUrmson (1965) denganjudul How to do thing with word?
Menuruttatabahasatradisionalada 3 jeniskalimatyaitu:
1)      Kalimatdeklaratifadalahkalimat yang isinyahanyamemintapendengaratau yang mendengarkalimatituuntukmenaruhperhatiansaja, tidakusahmelakukanapa-apasebabmaksudsipengujarhanyauntukmemberitahukansaja.
2)      Kalimatinterogatifadalahkalimat yang isinameminta agar pendengaratau orang yang mendengarkalimatituuntukmemberijawabansecaralisan.
3)      Kalimatimperatifadalahkalimat yang isinyameminta agar sipendengaratau yang mendengarkankalimatitumemberitanggapanberupatindakanatauperbuatan yang diminta. .
Pembagiankalimatataskalimatdeklaratif, interogratifdanimperatifadalahberdasarkanbentukkalimatitusecaraterlepasartinyakalimatdilihatataudipandangsebagaisatubentukkeutuhantinggi.Kalaukalimatataukalimatitudipandangdantataranlebihtinggi, yaknidaritingkatwacana, makakalimat-kalimattersebutdapatsajamenjaditidaksamaantarabentukformalnyadenganbentukisinya.
Austin (1962) membedakankalimatdeklaratifberdasarkanmaknanyamenjadikalimatkonstatifdankalimatperformatif, yang dimaksuddengankalimatkonstatifadalahkalimat yang berisipernyataanbelaka.Seperti “ibudosen kami cantiksekali” sedangkan yang dimaksuddengankalimatperformatifadalahkalimat yang berisiperlakuan.Artinya, apa yang diucapkanolehsipengujarberisiapa yang dilakukannya.
Kalimatperformatifdapatdigunakanuntukmengungkapkansesuatusecaraeksplisitdanimplisit.Secaratindakaneksplisitartinyadenganmenghadirkan kata-kata yang mengacupadapelakusepertisayaatau kami.Sedangkankalimatperformatif yang implisitadalah yang tanpamenghadirkan kata-kata yang menyatakanpelaku.Misalnya: “jalanditutup”
Austin, (1962: 150-163)membagikalimatperformatifmenjadi 5 kategori, yaitu:
1.      Kalimatverdiktif (inggris; verdictives) yaknikalimatperlakuan yang menyatakankeputusandanpenilaian.
2.      Kalimateksertif (inggris: exercitives)yaknikalimatperlakuan yang menyatakanperjanjian, nasihat, peringatandansebagainya.
3.      Kalimatkomisif (inggris: commissives) adalahkalimatperlakuan yang dicirikandenganperjanjian.
4.      Kalimatbehatitif (inggris: behatitives) adalahkalimatperlakuan yang berhubungandengantingkahlakusosialkarenaseseorangmendapatkankeberuntunganataukemalangan.
5.      Kalimatekspositif (inggris: expositives) adalahkalimatperlakuan yang memberipenjelasan, keterangan, atauperinciankepadaseseorang.
Tindaktutur yang dilangsungkandengankalimatperformatifolehAustin (1962:100-102) dirumuskansebagaitipeperistiwatindakan yang berlangsungsekaligus
1.      Tindaktuturlokusi (adalahtindakan yang menyatakansesuatudalamarti “berkata”  atautidaktuturdalambentukkalimat yang bermaknadandapatdipahami.
2.      Tindaktuturilokusiadalahtindaktutur yang biasanyadiidentifikasikandengankalimatperformatif yang eksplisit.
3.      Tindaktuturperlokusiadalahtindaktuturyang berkenandenganadanyaucapan orang lain sehubungandengansikapdanperillakunonlinguistikdari orang lain itu.

Kalaudilihatdarikontekssituasinyaada 2 macamtindaktutur ,tindaktuturlangsungdantindaktuturtidaklangsung. Tindaktuturlangsungmudahdipahamiolehsipendengarkarenauraiannyaberupakalimat-kalimatdenganmaknalugas.Tindaktutur yang tidaklangsunghannyadapatdipahamiolehsipendengar  yangcukupterlatihdalammemahamikalimat-kalimat yang bermaknakontekssituasional.


1.3  Tindak Tutur dan Pragmatik
Tindaktutursebenarnyamerupakansalahsatufenomenadalammasalah yang lebihluas, yang dikenaldenganistilahpragmatikfenomena lain dalamkajian pragmatic adalahdeiksispresuposisidanimplikaturpercakapan.

      Konseppragmatik (menelaahhubunganlambangdenganpenafsirannya) makaapabedanyapragmatikitudengan semantic, keduanyamemangmenelaahtentangmakna, namun, kalau pragmatic menelaahmaknamenuruttafsiranpendengar, maka semantic menelaahmaknadalamhubunganantaralambang(satuan-satuanujaran) denganobjeknyaataureferennya.

      Yang dimaksuddengandeiksisadalahhubunganantara kata yang digunakandidalamtindaktutur.Yang dimaksuddenganpresupsisidalamtindaktuturadalahmaknaatauinformasi “tambahan” yang terdapatdalamujaran yang digunakansecaratersirat.

      Presuposisiterdapat pula dalamkalimatdeklaratifdankalimatinterogatif.Misalnya, dalamkalimat “yang belumluusujian linguistic umumtidakbolehmengikutikuliahsosiolinguistik.”

      Menurutpurwo (1990) preposisiinidapatjugadigunakanuntukmenelitiperbedaancirisemantikverba yang satudenganverba yang lain.Yang dimaksuddenganimplikaturpercakapanadalahadanyaketerkaitanantaraujaran-ujaran yang diucapkanantaradua orang yang sedangbercakap-cakap.










DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sisiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:    Rineka Cipta.


BILINGUALISME DAN DIGLOSIA


BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

1.1 BILINGUALISME
            Istilah bilingualisme (inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilah secara harfiah sudah dapat dipahami apa yamg dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey, 1962:12), fishman 1975:73) untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1),  dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya(disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala  jabarannya ada juga istilah multilingualisme ( dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
            Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah.
1.      Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Menurut Bloomfield dalam bukunya yang terkenal language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “ kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya” jadi, menurut Bloomfield ini seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1dan B2 dengan derajat yang sama baiknya.
Menurut Robert Lado (1964:214), misalnya, mengatakan bahwa bilingualisme “ kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimanapun tingkatnya”. Jadi, menurut Lado penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya; kurang pun boleh.
Menurut Haugen (1961) “ tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya “ seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja.” Haugen juga mengatakan “ mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya.”
Jadi pertanyaan diatas bilingualisme akhirnya rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit dengan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1.

2.      Apa yang dimaksud dengan bahasa bilingualisme  ini? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
Menurut Bloomfield bilingualisme yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah bahasa secara sama baiknnya. Di tempat lain, Bloomfield (1933) juga mengatakan bahwa menguasai dua bahasa, bearti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Seorang pakar lain, Mackey (1962:12), mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Yang dimaksud bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada didalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa dapat juga berarti meguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukkan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualism. Demikian juga pendapat Rene Apple (1976: 176) yang megatakan bahwa apa yang disebut dua bahasa dalam bilingualism adalah termasuk juga dua variasi bahasa.

3.      Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1 nya, dan kapan pula harus menggunakan B2 nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk menggunakan b1-atau B2-nya?
Pertanyaan ini menyangkut masalah sosiolinguistik ,” siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama didapat digunakan dengan para masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur, jika B1si penutur adalah bahasa sunda, maka ia akan dapat menggunakan semua bahasa sunda dengan semua masyarakat tutur yang menggunakan bahasa sunda, tentunya dengan keadaan dan situasi yang memang dapat dilakukan dengan bahasa sunda itu seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga dan dalam topik pembicaraan yang biasa.

4.      Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
Dalam keadaan terhadap penguasaan B1 lebih baik dari pada B2 , dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2- nya. Pengaruh ini dapat berupa peristiwa yang disebut interferensi (lihat bab 8), baik pada  tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun tataran leksikon. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2.

5.      Apakah bilingualism itu berlaku pada perseorangan (seperti disebutkan dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Menurut Mackey(1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara  berganti-gantian. bilingualisme juga bukan ciri kode melainkan ciri ekspresi atas pengungkapan seorang penutur. Mackey juga mengatakan bahwa bahasa itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualism adalah milik individu-individu para penutur, sebab penggunaanya bahasa secara bergantian oleh  seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalnya masyarakat tutur B1dan masyarakat tutur B2.

1.2  Diglosia
Kata diaglosa berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis; tetapi istilah ini menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh sarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang “ Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar “ yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington DC. Furgon menggunakan istilah diglosis untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Defenisi  Furgon: (1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana  selain  terdapat sejumlah dialek-dialek utama ( lebih tepat  ragam-ragam utamja) dari satu bahasa, terdapat  juga sebuah ragam lain; (2) dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau  sebuah standar regional; (3) ragam lain ( yang bukan dialek-dialek utama )itu memiliki ciri:
-          Sudah ( sangat ) terkodifikasi
-          Gramatikalnya lebih kompleks
-          Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
-          Dipelajari  melalui pendidikan formal
-          Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-          Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun ) untuk percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatikal, leksikon, dan fonologi.
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Furgon dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi bahasa pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Distribusi fungsional dialek T dsn dislek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi  R hanya pada situasi informal dan santai.
Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur  biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya. Dalam masyarakat Melayu/ Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan bahasa Melayu R, di mana yang pertama menajdi bahasa sekolah, dan yang kedua menjadi bahasa pasar.
Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di amna ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunkan ragam T, maka dirasakan sebagai  kelanjutan dari tradisi itu, yakni karya sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan yang selalu  dalam ragam T ini menyebabkan kesusastraan itu menjadi  asing dari masyarakat umum.
Pemerolehan. Ragam bahasa T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragama R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Mereka yang mempelajari ragam T hampir tidak pernah menguasaianya dengan lancar, selancar penguasaannya terhadap ragam R.
Standarisasi. Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan ragam R.
Gramatikal. Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahsa yang sama, namun di dalam gramatiakl ternyata terdapat perbedaan.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya merupakan ragam tunggal, namun fonologi T merupakan  sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem.
Kalau Ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan R dalam sebuaha bahasa, maka Fishman melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan stilistik dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan  fungsi dari dua buah bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional.
Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebut broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada di perbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Yang dimaksud dengan double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat bahasa secara berganda. Yang dimaksud dengan double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan: satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Penataan terhadap repertoire bahasa-bahasa secara intelektual disebut linear polyglosia. Di sini tingkat kederajatan itu dijajarkan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Urutan kederajatan itu dibuat berdasarkan sikap penutur. 

1.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
            Diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa( terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan.
            Adanya 4 jenis hubungan antara bilingualism dan diglosia, yaitu
1.      Bilingualisme dan diglosia
2.      Bilingualisme tanpa diglosia
3.      Diglosia tanpa bilingualisme
4.      Tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
Didalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah Paraguay.
Didalam masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” kedalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru (kalau T dan R mempunyai struktur yang sama) atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R tidak sama strukturnya).
Didalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya bicara dalam bahasa T. sedangkan kelompok kedua, yang lebih besar, tidak memilih kekuasaan masyarakat hannya berbicara bahasa R. situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai diEropa sebelum perang dunia pertama misalnya, dalam satu periode sejarah Cza Rusia, para bangsawan hanya berbicara dalam bahasa perancis, sedangkan masyarakat Rusia yang lebih luas hannya berbicara dalam bahasa Rusia dengan berbagai dialeknya. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai suatu masyarakat tutur, sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi: kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme, didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hannya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hannya mungkin ada dalam masyarakat primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan.  













Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sisiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:    Rineka Cipta.